Selasa, 07 Mei 2024

Deteksi Dini Stunting

Senin, 25 September 2023

Rencana Aksi Pangan dan Gizi

Rencana Aksi Pangan dan Gizi merupakan rencana aksi yang berisi program serta kegiatan di bidang pangan dan gizi guna mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing. RAPG terdiri dari RAN-PG di tingkat nasional dan RAD-PG di tingkat daerah. RAD-PG kemudian dibagi lagi menjadi rencana di tingkat Provinsi dan­­­ Kabupaten/Kota.

RAN-PG

Berdasarkan Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2017, Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) terdiri dari lima pilar, yaitu:

  1. Perbaikan gizi masyarakat
  2. Peningkatan aksesibilitas pangan yang beragam
  3. Mutu dan keamanan pangan
  4. Perilaku hidup bersih dan sehat
  5. Koordinasi pembangunan pangan dan gizi

RAN-PG bertujuan untuk menyelaraskan perencanaan pangan dan gizi multisektor sehingga dapat menjadi panduan bagi pemerintah pusat dan daerah. Target perbaikan gizi dan sasaran pangan pada RAN-PG selaras dengan yang ada di RPJMN. RAN-PG ditetapkan oleh Menteri PPN/ Kepala Bappenas dan berlaku untuk jangka waktu 5 tahun. RAN-PG tahun 2020-2024 saat ini sedang dalam tahap penyusunan.

RAD-PG

RAD-PG atau Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi terdiri dari RAD-PG Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Sejak tahun 2011, semua provinsi telah memiliki RAD-PG. RAD-PG provinsi ditetapkan oleh gubernur sementara RAD-PG kabupaten/kota ditetapkan oleh bupati atau walikota. Penyusunan RAD-PG mengikuti periode RPJMD. Pada tahap penyusunannya, tim teknis mengkonsultasikan rancangan RAD-PG sebelum ditetapkan. Rancangan RAD-PG provinsi dikonsultasikan ke Bappenas sementara RAD-PG kabupaten dikonsultasikan ke Bappeda provinsi. Konsultasi ini dimaksudkan agar terjadi keselarasan perencanaan di berbagai tingkatan.

Intervensi Terintegrasi

Inisiasi Intervensi Terintegrasi.

Stunting memiliki banyak faktor penyebab sehingga untuk mengatasinya tidak bisa dilakukan oleh masing-masing sektor dengan kegiatan yang parsial. Faktor penyebab langsung dan tidak langsung dari stunting harus diatasi bersama-sama oleh seluruh lintas sektor yang terkait melalui integrasi intervensi gizi spesifik dan sensitif. Integrasi dan konvergensi program yang dilaksanakan oleh lintas sektor akan menghasilkan daya ungkit yang lebih besar dalam upaya penurunan prevalensi stunting.

Wakil Presiden RI telah memberikan arahan pada rapat terbatas tingkat menteri tanggal 9 Agustus 2017 untuk melaksanakan intervensi penurunan stunting terintegrasi. Tujuannya adalah untuk mempercepat penurunan stunting pada anak balita di Indonesia melalui kegiatan terintegrasi di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota hingga desa sehingga mampu mewujudkan sumberdaya manusia Indonesia yang berkualitas dan berdaya saing.

Intervensi gizi terintegrasi merupakan kegiatan pencegahan dan penanggulangan permasalahan gizi khususnya stunting dengan melibatkan berbagai K/L terkait. Disebut terintegrasi apabila dari sisi jenis kegiatan yang dilakukan lengkap dan sesuai permasalahan, cakupan mencapai angka cakupan minimal dan tepat sasaran, dan dari sisi kualitas intervensi sesuai standar dengan tingkat kepatuhan (compliance) yang tinggi. Kegiatan intervensi gizi terintegrasi di susun berdasarkan program intervensi baik spesifik dan sensitif yang terbukti efektif

Lokasi Fokus Intervensi Penurunan Stunting

Pemilihan lokasi fokus intervensi stunting pada tingkat kabupaten/kota didasarkan pada sejumlah indikator, antara lain jumlah balita stunting, prevalensi stunting serta tingkat kemiskinan. Sejak pertama kali dilaksanakan pada tahun 2018, lokasi fokus intervensi penurunan stunting terus bertambah setiap tahunnya. Dari 100 kabupaten/kota di tahun 2018, diperluas menjadi 160 kabupaten/kota di tahun 2019 hingga 260 kabupaten/kota di tahun 2020. Pada tahun 2021, jumlah ini bertambah lagi menjadi 360 kabupaten/kota.

Cakupan akan terus diperluas secara bertahap hingga pada tahun 2023 akan mencakup 514 kabupaten/kota. Oleh karena itu, diharapkan pada tahun 2024, seluruh kabupaten/kota telah mengimplementasikan intervensi penurunan stunting terintegrasi yang mendukung dalam pencapaian target RPJMN 2020-2024. Adapun perkembangan lokasi fokus stunting dapat dilihat pada peta berikut:

Lokasi Fokus Intervensi Penurunan Stunting Tahun 2019
Lokasi Fokus Intervensi Penurunan Stunting Tahun 2020

 

Surat penetapan lokasi fokus intervensi penurunan stunting dapat diunduh disini

Untuk Pedoman Download Disini:



Intervensi Pendukung

Pencatatan Sipil, Penguatan Posyandu, Surveilans Gizi, Advokasi Pemerintah Daerah, Konvergensi Pencegahan Stunting di Desa.

Intervensi Sensitif

Intervensi sensitif merupakan kegiatan yang berhubungan dengan penyebab tidak langsung stunting yang umumnya berada di luar persoalan kesehatan. Intervensi sensitif terbagi menjadi 4 jenis yaitu penyediaan air minum dan sanitasi, pelayanan gizi dan kesehatan, peningkatan kesadaran pengasuhan dan gizi serta peningkatan akses pangan bergizi.

Air Minum dan Sanitasi. Pada anak yang diare atau cacingan, zat gizi dari makanan yang dikonsumsi tidak diserap oleh tubuh. Bahkan, dalam kondisi tertentu, tubuh memecah cadangan makanan untuk melawan infeksi sehingga membuat anak menjadi kurus. Infeksi berulang yang terjadi dalam waktu cukup lama bisa menjadi faktor pemicu terjadinya stunting. Kejadian infeksi sangat terkait dengan kondisi lingkungan yang tidak sehat, seperti tidak tersedianya akses air bersih, sarana sanitasi layak, dan pengelolaan sampah. Dengan demikian, penyediaan air bersih dan sanitasi memiliki peran penting dalam penurunan stunting karena berhubungan erat dengan upaya pencegahan infeksi penyakit.

Upaya untuk menyediakan sarana air bersih dan sanitasi baik di pedesaan maupun di perkotaan dilakukan antara lain melalui program Penyediaan Air minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) dan Program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).

PAMSIMAS bertujuan untuk meningkatkan praktik hidup bersih dan sehat di masyarakat, meningkatkan jumlah masyarakat yang memiliki akses air minum dan sanitasi yang berkelanjutan, meningkatkan kapasitas masyarakat dan kelembagaan lokal (pemerintah daerah maupun masyarakat) dalam penyelenggaraan layanan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat dan meningkatkan efektifitas dan kesinambungan jangka panjang pembangunan sarana dan prasarana air minum dan sanitasi berbasis masyarakat. Sedangkan, Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) bertujuan untuk mengubah perilaku higiene dan sanitasi melalui pemberdayaan dengan metode pemicuan. Lima pilar dalam STBM adalah Stop Buang Air Besar Sembarangan, Cuci Tangan Pakai Sabun, pengelolaan air minum dan makanan rumah tangga, pengelolaan sampah rumah tangga,dan pengelolaan limbah cair rumah tangga.

Pelayanan Gizi dan Kesehatan. 

1.  KB

Pelayanan kesehatan dalam Keluarga Berencana dimaksudkan untuk pengaturan kehamilan bagi pasangan usia subur untuk membentuk generasi penerus yang sehat dan cerdas melalui upaya promotif, preventif, pelayanan, dan pemulihan termasuk perlindungan efek samping, komplikasi, dan kegagalan alat kontrasepsi dengan memperhatikan hak-hak reproduksi, serta pelayanan infertilitas. Melalui KB, masyarakat jadi bisa mengatur jarak kehamilannya sehingga lebih mudah untuk memastikan ketercukupan gizi anak.

2. JKN

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diimplementasikan mulai tahun 2014 ditujukan untuk memberikan perlindungan bagi seluruh penduduk agar dapat mengakses pelayanan kesehatan yang dibutuhkan tanpa hambatan finansial. Bagi penduduk miskin dan hampir miskin, pemerintah memberikan bantuan iuran agar seluruh masyarakat tercakup dalam layanan JKN. Dengan adanya jaminan kesehatan, ibu hamil maupun bayi dan balita dapat memperoleh pelayanan kesehatan yang berkualitas secara tepat waktu, seperti pemeriksaan kehamilan, imunisasi serta pengobatan penyakit atau infeksi. Hal ini tentunya akan berkontribusi dalam upaya penurunan stunting melalui peningkatan status kesehatan ibu dan balita.

3. PKH

Program Keluarga Harapan merupakan program Bantuan Tunai Bersyarat yang telah dilaksanakan sejak tahun 2007. Program ini ditujukan untuk keluarga miskin dengan ibu hamil, anak balita dan anak usia sekolah. Keluarga yang mendapat PKH akan memperoleh uang tunai apabila melaksanakan beberapa persyaratan, antara lain ibu hamil datang melakukan pemeriksaan ke pelayanan kesehatan minimal 4 kali, anak balita datang ke posyandu setiap bulan, dan anak sekolah hadir di fasilitas pendidikan. PKH bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin dalam jangka pendek dan mengatasi kemiskinan antar generasi dalam jangka panjang. Keluarga penerima manfaat PKH juga akan didampingi agar pengetahuan dan kesadaran keluarga mengenai kesehatan dan gizi dapat meningkat sehingga uang tunai yang diperoleh dapat dipergunakan untuk meningkatkan kualitas asupan gizi ibu hamil, anak balita, dan anak sekolah.

Edukasi, Konseling dan Perubahan Perilaku. 

1. Penyebaran informasi melalui media

Media memainkan peranan penting dalam edukasi ke masyarakat. Dalam hal ini, Kementerian Kesehatan dan Kominfo bekerja bersama untuk membuat kampanye dan komunikasi perubahan perilaku di masyarakat. Kominfo meluncurkan kampanye Genbest (Generasi Bersih dan Sehat) untuk meningkatkan kesadaran remaja dalam mencegah stunting. Kampanye ini dapat diakses melalui http://genbest.id/.

2. Konseling perubahan perilaku antar pribadi

Perubahan perilaku yang dilakukan melalui komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) merupakan bagian yang penting dari intervensi sensitif untuk menurunkan stunting. Beberapa kegiatan terkait upaya perubahan perilaku antara lain penyuluhan untuk mencegah pernikahan dini, penyuluhan keluarga berencana, penyululuhan gizi dan kesehatan, penyuluhan gemar bercocok tanam, dan penyuluhan gemar makan ikan. Kegiatan KIE dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, baik melalui media massa cetak dan elekronik, kegiatan pendidikan, pertemuan langsung, dan juga melalui seni budaya.

3. Konseling pengasuhan untuk orang tua

Kegiatan pola asuh (parenting) ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan orang tua dalam menerapkan pengasuhan yang tepat pada anak, termasuk di dalamnya perbaikan pola asuh untuk mencegah stunting. Kegiatan ini dilakukan dengan berbagai metode, dalam bentuk pelatihan pada kegiatan di Posyandu maupun pada kegiatan di PAUD dan BKB.

Pola asuh berkaitan dengan perilaku dan kebiasaan yang dilakukan oleh anggota keluarga. Dalam pemberian makanan, orang tua perlu membiasakan anak mengonsumsi sayuran dan buah-buahan serta menghindari makanan yang manis, asin, dan berlemak. Kebiasaan memandikan anak, mengajari anak buang air besar pada tempatnya, perilaku cuci tangan, dan hal-hal lainnya juga akan membantu membiasakan anak untuk menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat.

4. PAUD (Pendidikan anak usia dini)

Upaya penurunan stunting di PAUD dan Bina Keluarga Balita (BKB) ditempuh dengan dua pendekatan yaitu: (1) penyediaan makanan bergizi seimbang sesuai dengan kondisi pertumbuhan anak; dan (2) pengenalan makanan seimbang dan faktor terkait stunting lainnya melalui Alat Permainan Edukatif (APE) yang digunakan oleh Posyandu. Mengingat periode emas pertumbuhan dan perkembangan terjadi sampai anak berusia 2 tahun, maka prioritas peningkatan status gizi anak adalah melalui pemberian MP-ASI dan makanan yang memenuhi prinsip gizi seimbang.

5. Konseling kesehatan reproduksi untuk remaja

Remaja diberikan pemahaman mengenai kesehatan reproduksi agar mereka memiliki pengetahuan yang cukup untuk membuat keputusan yang bertanggung jawab berkaitan dengan hak-hak kesehatan reproduksi dan seksualnya. Tujuannya untuk melindungi remaja dari risiko pernikahan usia dini, kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi, infeksi menular seksual dan penyakit lainnya. Apabila kehamilan tidak direncanakan dengan baik atau hamil pada usia yang terlalu muda, maka hal ini akan memperbesar risiko melahirkan anak dengan berat badan lahir rendah (BBLR).

6. PPA (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak)

Perempuan dan anak seringkali rentan terhadap kekerasan. Selain itu, masih banyak praktik di keluarga yang berkaitan dengan gender dan mempengaruhi asupan gizi perempuan. Misalnya, makanan biasanya diberikan kepada kepala keluarga atau anak laki-laki terlebih dahulu sebelum dikonsumsi oleh ibu dan anak perempuan. Akibatnya, perempuan memiliki status gizi yang lebih rendah dari laki-laki. Hal ini bisa mengakibatkan anemia pada masa remaja yang apabila berlanjut hingga kehamilan, berpotensi melahirkan anak dengan berat badan lahir rendah (BBLR).

Akses Pangan Bergizi.

1. Bantuan Pangan Non Tunai

Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) adalah bantuan sosial pangan dalam bentuk non tunai dari pemerintah yang diberikan kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) setiap bulannya melalui mekanisme akun elektronik yang digunakan hanya untuk membeli bahan pangan di pedagang bahan pangan/e-warong yang bekerjasama dengan bank. Program ini dijalankan sejak tahun 2018. Tujuannya adalah untuk mengurangi beban pengeluaran dan menyediakan makanan yang lebih bergizi dengan menyediakan beras dan telur untuk keluarga miskin. BPNT merupakan transformasi dari penyaluran Raskin (Beras Untuk Rumah Tangga Miskin) dan diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2017. Penyaluran secara non tunai diharapkan dapat meningkatkan transparansi program serta memberikan kebebasan bagi masyarakat untuk menggunakan bantuan tersebut secara bijak sesuai kebutuhannya. Kartu elektronik dapat digunakan untuk memperoleh beras, telur, dan bahan pokok lainnya di pasar, warung, dan toko. Melalui BPNT, masyarakat dapat memperoleh nutrisi yang lebih seimbang karena tidak hanya memenuhi kebutuhan karbohidrat melalui beras, tetapi juga bahan pangan lainnya seperti telur yang tinggi protein. Oleh karena itu, kehadiran BPNT bagi keluarga pra sejahtera sangat penting untuk mencukupi kebutuhan gizi mereka.

2. Fortifikasi Bahan Pangan Utama (Garam, Tepung Terigu dan Minyak Goreng)

Fortifikasi adalah pengayaan zat gizi terutama vitamin dan mineral ke dalam bahan pangan tertentu yang banyak dikonsumsi masyarakat luas. Fortifikasi bahan pangan di Indonesia sudah dilakukan sejak lama, dimulai dengan fortifikasi iodium pada garam yang diwajibkan pada tahun 1994. Persyaratan mutu iodisasi garam ini diatur dengan SNI Nomor 3556:2010 tentang Garam Konsumsi Beryodium. Selain penerapan SNI wajib, dilakukan juga pembinaan terhadap produsen garam untuk meningkatkan ketaatan mereka terhadap fortifikasi.

Kebijakan fortifikasi juga sudah diterapkan pada tepung terigu dengan menambahkan zat besi (Fe), asam folat, Zink, dan vitamin B1 dan B2 sebagaimana diatur dalam SNI Nomor 3751:2009. Pengayaan bahan pangan lain yang juga dilakukan adalah fortifikasi vitamin A pada minyak goreng curah.

Fortifikasi pangan dinilai sebagai salah satu upaya pemenuhan zat gizi mikro masyarakat yang terbukti cost-effective. Hal ini karena fortifikasi dilakukan pada bahan pangan yang dikonsumsi masyarakat luas, terutama oleh penduduk yang kurang mampu. Kedepannya, masih terdapat beberapa bahan pangan lain yang potensial untuk difortifikasi seperti beras.

3. KRPL (Kawasan Rumah Pangan Lestari)

Program-program yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian dan meningkatkan ketahanan pangan merupakan komponen penting dalam program Percepatan Perbaikan Gizi 1000 HPK. Program tersebut memastikan ketersediaan pangan bergizi dengan harga terjangkau untuk semua golongan masyarakat. Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) berfungsi sebagai basis ketahanan pangan. Program ini menitikberatkan kegiatannya pada pemberdayaan kelompok wanita tani dengan memanfaatkan pekarangan rumah sebagai lahan tanam untuk semua jenis tanaman yang bernilai gizi konsumsi keluarga. Sehingga, keluarga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pangannya dengan tanaman yang ada di pekarangan rumah.

4. Penguatan regulasi mengenai label dan iklan pangan

Regulasi label dan iklan pangan penting dilakukan agar konsumen mengetahui produk yang akan dia konsumsi dan mampu membuat keputusan yang baik untuk kesehatannya. Membaca label makanan kemasan dan memahami komposisi serta anjuran penyajian yang tertera adalah cara penting untuk mengatur asupan gizi yang akan dikonsumsi, khususnya gula, garam, dan lemak. Konsumsi melebihi takaran yang dianjurkan oleh Kementerian Kesehatan dapat meningkatkan risiko penyakit tidak menular seperti jantung, diabetes, hipertensi, hingga stroke. Selain itu, klaim produk susu formula untuk ibu hamil dan menyusui yang tidak tepat juga dikhawatirkan dapat menimbulkan masalah kesehatan sehingga perlu diawasi dengan seksama.


Intervensi Spesifik

Intervensi spesifik merupakan kegiatan yang langsung mengatasi penyebab terjadinya stunting dan umumnya diberikan oleh sektor kesehatan seperti asupan makanan, pencegahan infeksi, status gizi ibu, penyakit menular dan kesehatan lingkungan. Terdapat 9 poin intervensi gizi spesifik, yaitu: 

Pemberian Makanan Tambahan Bagi Ibu Hamil dan Balita Kurus. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dilakukan kepada ibu hamil yang mengalami Kurang Energi Kronik (KEK). Identifikasi dilakukan dengan cara mengukur Lingkar Lengan Atas (LILA) dan dinyatakan berisiko apabila LILA kurang dari 23,5 cm. Ibu yang mengalami KEK berisiko untuk melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR). Sehingga, untuk mencukupi kebutuhan gizi ibu hamil KEK diberikan Makanan Tambahan Ibu Hamil.

Sementara itu, PMT Balita diberikan pada balita kurus usia 6-59 bulan yang indikator Berat Badan (BB) menurut Panjang Badan (PB)/Tinggi Badan (TB) kurang dari minus 2 standar deviasi (<- 2 SD) yang tidak rawat inap dan tidak rawat jalan.

Tablet Tambah Darah Bagi Remaja, WUS dan Ibu Hamil. Remaja putri (rematri) rentan menderita anemia karena banyak kehilangan darah pada saat menstruasi. Remaja yang menderita anemia berisiko tinggi untuk mengalami anemia pada masa kehamilannya. Hal ini akan berdampak pada terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan janin serta berpotensi menimbulkan komplikasi kehamilan dan persalinan. Oleh karena itu, remaja dan wanita usia subur (WUS) perlu meminum Tablet Tambah Darah (TTD) sebanyak satu kali dalam seminggu. Sementara, ibu hamil mengkonsumsi TTD sebanyak 90 tablet atau lebih selama masa kehamilannya untuk mencegah anemia saat hamil.

Promosi dan Konseling Menyusui. Untuk mencegah stunting, terdapat standar ideal (golden standard) yang direkomendasikan oleh WHO, yaitu: (1) pemberian ASI eksklusif sejak bayi lahir sampai usia 6 bulan; (2) pemberian MP-ASI mulai usia 6 bulan; dan (3) lanjutan pemberian ASI sampai bayi berusia 2 tahun atau lebih. Pemberian ASI eksklusif (bayi diberikan ASI saja tanpa tambahan apapun) pada bayi usia 0-6 bulan sangat penting tidak saja untuk meningkatkan status gizi tetapi juga untuk kelangsungan hidup (survival) bayi. Untuk itu, diperlukan promosi dan edukasi untuk memberikan ASI eksklusif melalui berbagai cara baik pertemuan langsung (konseling menyusui oleh tenaga kesehatan terlatih) maupun promosi di media massa cetak dan elektronik. Pemberian ASI Eksklusif diatur oleh Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2012.

Promosi dan Konseling Pemberian Makanan Bayi dan Anak (PMBA). Setelah pemberian ASI secara eksklusif selama usia 0-6 bulan, selanjutnya bayi mulai dikenalkan dengan makanan pendamping ASI (MP-ASI) dengan tetap memberikan ASI lanjutan sampai dengan usia 2 tahun atau lebih. Pemberian MP-ASI mulai usia 6 bulan menjadi sangat penting mengingat pada usia 6-11 bulan kontribusi ASI pada pemenuhan  kebutuhan gizi hanya dua per tiga sedangkan sepertiganya harus dipenuhi dari MP-ASI. Seiring bertambahnya usia, kehadiran MP-ASI menjadi semakin penting. Pada saat bayi berusia 12-23 bulan, dua per tiga pemenuhan kebutuhan gizi berasal dari MP-ASI.

Hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian MP-ASI adalah kuantitas dan kualitasnya memenuhi prinsip gizi seimbang agar tidak cenderung tinggi karbohidrat tetapi juga memenuhi kebutuhan karbohidrat, protein, vitamin dan mineral. MP-ASI ada yang bersifat pabrikan dan ada yang berbasis pangan lokal. Keduanya dapat diberikan, namun MP-ASI berbasis pangan lokal akan lebih berkelanjutan karena memanfaatkan pangan yang ada di masyarakat.

Tatalaksana Gizi Buruk. Balita dengan status gizi buruk perlu ditangani segera dengan intervensi pemulihan yang dapat dilakukan dengan metode pendekatan individual maupun pendekatan masyarakat. Secara umum, balita gizi buruk tanpa penyakit penyerta cukup ditangani dengan pemberian makanan tambahan untuk mengejar pertumbuhannya. Sementara, pada balita gizi buruk yang memiliki penyakit penyerta harus dilakukan pengobatan penyakitnya terlebih dahulu untuk selanjutnya diberikan makanan tambahan.

Di daerah-daerah dengan jumlah kasus gizi buruk yang tinggi didirikan Pusat Pemulihan Gizi (Therapeutic Feeding Center/TFC). Di TFC, balita gizi buruk akan diberikan perawatan dan pemberian makanan tambahan secara intensif sesuai dengan usia dan kondisinya dengan melibatkan peran serta aktif orang tua. Agar orang tua bersedia untuk membawa balita gizi buruk ke TFC, beberapa daerah menyediakan kompensasi sebesar upah harian untuk menggantikan hari kerja yang hilang selama mendampingi anak di TFC. Hal lain yang penting adalah upaya untuk menjaga kontinuitas perawatan dan pemberian makanan bergizi saat anak kembali ke rumah.

Pemantauan dan Promosi Pertumbuhan. Kegiatan pemantauan pertumbuhan dilakukan sejak anak berusia 0-72 bulan dengan penimbangan berat badan setiap bulan dan pengukuran tinggi badan setiap 3 bulan sekali. Kegiatan pemantauan dilakukan di fasilitas kesehatan dasar hingga taman kanak-kanak. Pencatatan pemantauan dilakukan di Kartu Menuju Sehat (KMS). Jika berat badan anak di bawah garis merah, artinya anak mengalami kurang gizi sedang hingga berat.

Suplementasi Mikronutrien. Suplementasi mikronutrien terdiri dari suplementasi kalsium untuk ibu hamil serta suplementasi kapsul vitamin A, suplementasi taburia, dan suplementasi zinc untuk pengobatan diare bagi anak usia 0-59 bulan. Vitamin A diberikan di Posyandu setiap bulan Februari dan Agustus. Sejak tahun 2016, pemberian vitamin A dilakukan terintegrasi dengan pemberian obat cacing dan imunisasi campak.

Taburia merupakan tambahan multivitamin dan mineral untuk memenuhi kebutuhan gizi dan tumbuh kembang balita usia 6-59 bulan dengan prioritas balita usia 6-24 bulan. Taburia mengandung 12 macam vitamin dan 4 jenis mineral yang sangat dibutuhkan untuk tumbuh kembang dan mencegah terjadinya anemia pada balita. Taburia diberikan kepada anak dengan menambahkannya pada sarapan pagi yang disiapkan di rumah.

Pemeriksaan Kehamilan dan Imunisasi. Pemeriksaan kehamilan (Antenatal care) dilakukan selama minimal 4 kali selama masa kehamilan, yaitu satu kali pada trimester 1, satu kali pada trimester 2 dan dua kali pada trimester 3. Pemeriksaan ini dilakukan oleh tenaga kesehatan dan dicatat di buku KIA. Selain itu, ibu hamil juga harus mendapatkan imunisasi Tetanus Toksoid (TT) untuk menghindari tetanus neonatorium. Pada saat pemeriksaan kehamilan pertama, ibu hamil akan ditanyai mengenai status imunisasi tetanusnya. Ibu hamil minimal memiliki status imunisasi T2 agar memiliki perlindungan terhadap infeksi tetanus.

Manajemen Terpadu Balita Sakit. Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) adalah pendekatan pelayanan terintegrasi dalam tata laksana balita sakit yang berfokus pada kesehatan anak usia 0-59 bulan secara menyeluruh di layanan rawat jalan fasilitas kesehatan dasar. Pelayanan MTBS dilakukan oleh perawat atau bidan dengan supervisi dokter yang terlatih. Pada daerah yang kesulitan mengakses layanan kesehatan, tenaga nonkesehatan diperbolehkan melakukan pelayanan kuratif terbatas dengan pendekatan MTBS berbasis masyarakat (MTBS-M).

Intervensi

Upaya penurunan stunting dilakukan melalui dua intervensi gizi, yaitu intervensi spesifik dan intervensi sensitif. Intervensi spesifik merupakan kegiatan yang langsung mengatasi penyebab terjadinya stunting dan umumnya diberikan oleh sektor kesehatan seperti asupan makanan, pencegahan infeksi, status gizi ibu, penyakit menular dan kesehatan lingkungan. Sementara itu, intervensi sensitif merupakan kegiatan yang berhubungan dengan penyebab tidak langsung stunting yang umumnya berada di luar kewenangan Kementerian Kesehatan. Dalam penanggulangan permasalahan gizi, intervensi sensitif memiliki kontribusi sebesar 70 persen sementara intervensi spesifik menyumbang sekitar 30 persennya (Lancet, 2013). Selain dua hal tersebut, diperlukan juga faktor pendukung yang memungkinkan terjadinya penurunan stunting seperti komitmen politik dan kebijakan, keterlibatan pemerintah dan lintas sektor serta kapasitas untuk melaksanakan intervensi yang ada.

Deteksi Dini Stunting

Mengenal Stunting: Deteksi Dini, Dampak, dan Pencegahannya 5 April 2022, 10.23   Oleh:  helmyati   Stunting merupakan salah satu permasalaha...